Sejarah Pura Gunung Salak Parahyangan Agung Jagatkartta


Sejarah Pura Gunung Salak sangat menarik untuk diceritakan kembali, dengan tujuan memberikan penjelasan informasi.   Sejarah bermula dari beberapa umat yang bersama – sama berkumpul ke tempat saat ini.  Kemudian mulailah ada gagasan yang berkesinambungan.

Mulainya sejarah pura gunung salak dengan adanya sebuah batu berukuran 3 X 1.5 meter.  Kemudian munculah agasan awal untuk mendirikan sebuah pelinggih sederhana.  Gayung bersambut dari beberapa umat dan masyarakat, sampai akhirnya muncul rencana ingin mendirikan tempat persembahyangan.

Uraian sejarah pura gunung salak ini menyampaikan informasi sejak awal tahun 1995, hingga pelaksanaan yadnya ngenteg linggih pada September tahun 2005.    

 

Seke Demen Merintis Terbentuknya Sejarah Pura Gunung Salak

Pada awalnya beberapa orang umat Hindu yang mempunyal kesenangan dan minat sama disebut sebagai “seka demen” sering melaksanakan kunjungan kelokasi yang ada sekarang.

Kehadiran mereka diantaranya adalah untuk berhening hening, mencari ketenangan batin.  Kegiatan yang dilakukan ditengah-tengah alam bebas tersebut diantaranya adalah persembahyangan bersama, memuja kebesaran Tuhan.

Sejarah pura gunung salak saat ini bermula adanya keberadaan sebuah batu besar.  Adapun ukurannya panjangnya 5 meter dan lebarnya 3 meter, serta tinggi 1.5 meter.   Di depan batu inilah kemudia menjadi lokasi pembangunan sebuah candi.

Candi ini bentuknya meniru candi Cangkuang yang di daerah Garut, Jawa Barat.  Dengan adanya candi dan frekuensi kehadiran lebih sering, maka muncul gagasan lanjutan untuk mendirikan pelinggih sederhana.

Keinginan membangun sebuah pelinggih sederhana tersebut mendapat sambutan dari berbagai pihak, sehingga kemudian berkembang kearah pembangunan sebuah tempat suci berukuran besar.   Gayung bersambut dengan kelompok lebih besar, baik dari umat maupun masyarakat sekitar.    

Pembangunan Candi Pertama

Pada mulanya sebagian besar tanah di sekitar area Pura Parahyangan Agung Jagatkartta adalah milik Perum Perhutani.  Kemudian agar mulai merintis administrasi lahan, secara bersama – sama umat dari berbagai profesi mengadakan pembebasan dan pembelian tanah.

Pada tahun 1995, dimulal sejarah pura gunung salak dengan membangun sebuah candi disatu titik yang diyakini sebagai petilasan Prabu Siliwangi, raja termasyur dan sangat dipuja, sebagai simbol penghormatan kepada lelubur tanah Sunda.

Prabu Siliwangi dengan sesanti pemerintahannya Tata Tentram Kertha Raharja, telah membawa jaman keemasan bagi Pajajaran.  Kerajaan Pajajaran adalah kerajaan Hindu terakhir di Tanah Parahyangan.

Kehidupan masyarakat dijalankan berdasarkan penghormatan kepada ajaran Jeluhur “Sang Hyang Dharma dan Sang Hyang Siksa*. Masa java ini berlangsung selama pemerintahan beltau tahun 1482-1521, dan dilanjutkan putranya Raja Surawisesa, tahun 1521-1535.

Semua ini tertera pada prasasti batu bertulis di Jalan Batu Tulis Bogor, yang dibuat tahun Caka 1455 atau 1533 M.    

Sejarah Pura Gunung Salak Periode Pembangunan tahun 1995 – 2000

Pembangunan masa awal sejarah pura gunung salak adalah dengan “mulang dasar” untuk pembangunan CANDI.  Gagasan candi ini merupakan replika candi Cangkuang di daerah Garust.  Momen bersejarah ini tercatat pada tanggal 9 Oktober 1995.

Pada tanggal 22 April 1996 dilaksanakan “Pemelapasan” Candi tersebut, yang menandakan bahwa pembangunan selesal.  Setahun kemudian tepatnya tanggal 14 Mel 1997 dilanjutkan dengan pembangunan Padmasana.

Bangunan padmasana dikerjakan hingga tuntas, serta dilaksanakan upacara pemelaspasan tanggal 05 Maret 2000. Selama proses pembangunan, untuk sementara tempat suci disebut dengan “Penataran Agung Gunung Salak”.

Dengan adanya pembangunan Candi dan Padmasana, maka dirasa perlu membentuk tim yang bertanggung jawab pemeliharaanya.  Untuk itu mulailah dibentuk organisasi Pengurus Pura.  Adapun tugasnya menyelenggarakan upacara sehari-hari maupun pada hari hari suci (rerainan).

Pengurus pura juga bertanggung jawab atas kesejahteraan perangku, tata tertib, serta mengurus pembayaran rekening listik dan telepone pura.     

Periode Pembangunan 2004 – 2005 dan Pembentukan Yayasan

Sejarah pura gunung salak setelah tahun 2000, terjadi kekosongan kegiatan hingga akhir 2004.  Agar aktifitas kembali meningkat, maka pengurus berinisiatif melakukan pergantian.

Hasil paruman pengurus, maka ada gagasan untuk merencanakan upacara “ngenteg linggih” pada tahun 2005.  Dari target inilah kepengurusan pura gunung salak dirubah menjadi Yayasan dengan nama Yayasan Giri Tamansari.

Karena target ngenteg linggih, maka yayasan mulai merencanakan kelengkapan bangunan – bangunan suci di dalam area parahayangan.  Bangunan tersebut diantaranya Anglurah Agung,  dua buah Bale Pepelik, Bale Pesamuan Agung, Pengayengan Ratu Gede Dalem Peed dan 2 Patung Macan di mandala utama.

Bangunan lainnya adalah Bale Paselang, Bale Pawedan, Bale Gong (gegitan), Bale Reringgitan, Bale Panjang dan Panggungan. Di Depan Candi juga dibangun sebuah pelinggih sederhana berbahan triplek untuk penyawangan Ratu Gde Dalem Ped.     

Dibelakang candi juga dilinggihkan pratima kecil untuk pemujaan Shri Ganesha. Di Catuspata dibangun sebuah pelinggih gedong. Di perbatasan madya dan kanista mandala dibangun sebuah bale kulkul.   

Pembangunan Lainnya Di Luar Utama Mandala

Untuk menunjang rencana Ngeteg Linggih di tahun 2005, maka tidak saja melengkapi bangunan suci di mandala utama tetapi juga sarana lainnya.  Diluar areal madya mandala juga dibangun tower air, penangkal petir dan pemasangan repeater untuk sarana komunikasi.

Demikian juga pelinggih Betara Melanting/Pasar Agung dipandang perlu dibangun sementara untuk memohon kehadiranNya selama peaksanaan upacara ngenteg linggih. Untuk itu secara darurat dbuatkan dihalaman rumah umt disebelah bawah PAJK.

Pada areal yang direncanakan sebagai kanista mandala dibangun berbagai bangunan semi permanen untuk mendukung yadnya maupun operasional pura.

Selanjutnya dibangun Kori Agung, Apit Lawang, Tembok penyengker belakang utamaning utama sepanjang kurang lebih 20 meter, berikut paduraksanya.  Turab disisi sebelah timur madya mandala, pemasangan instalasi listrik, serta penataan taman berikut saluran pembuangan air hujan.

Pelebaran Infrastruktur Jalan

Selain sibuk pembangunana di parahyangan, pengurus juga mempersiapkan infrastruktur yang memadai.  Salah satu infrastruktur adalah pelebaran jalan, yang berdekatan dengan pura.  Bekerja sama dengan dan sesepuh masyrakat, pengurus bisa melaksanakan pelebaran jalan menjadi 12 m sebelumnya 4 m.

Untuk melebarkan jalan, yayasan juga membeli tanah penduduk di sekitar jalan.  Pelaksanaan pekerjaaan dibantu oleh pimpinan dan anggota Pusat Pendidikan Zeni Angkatan Darat Bogor, yang diantaranya adalah umat Hindu.    

Landasan Sastra Pembangunan Tempat Suci

Pemberian nama pura adalah sejarah pura gunung salak yang sangat penting.  Tempat suci yang diberi nama “parahyangan” ini dibangun berlandaskan theologi yang disuratkan dalam kitab suci Veda.

Filsafat yang melandasinya adalah Siwa Sidhanta, yang disertai kearifan lokal Bali dan Sunda. Hal tersebut bisa dipahami mengingat yang mengawali pembangunan ini adalah para sesepuh Bali, para pandita Hindu Bali serta Gubernur Provinsi Bali saat itu Bapak Dewa Bratha.

Pada tanggal 11 Juni 2005 bertempat di belakang Padmasana, dilaksanakan paruman oleh beberapa sulinggih.  Beliau adalah sulinggih yang tinggal di Ball, Jakarta, Bo-gor, Tanggerang. Bandung, Lampung, termasuk dharma adhyaksa PHDI Pusat.

Paruman sulinggih ini menghasilkan empat butir bhisama yaitu:

  1. Nama tempat suci adalah “Parahyangan Agung Jagatkartta“.
  2. Hari Pujawali ditetapkan pada hari Purnama sasih Katiga.
  3. Tingkatan Upacara yang digunakan adalah “Upacara Utamaning Utama” yaitu tingkat tertinggi dalam yadnya.

Status Pura  adalah Pura Kahyangan Jagat.     

Yadnya Memungkah, Melaspas dan Ngenteg Linggih

Setelah kurang lebih 10 tahun melaksanakan pembangunan, akhirnya hampir seluruh bangunan di utama mandala dapat diselesaikan.  Didaulat sebagai ketua panitia ngenteg linggih Mayjen TNI (Pur) Sang Nyoman Suwisma.

Kepanitiaan melibatkan umat Hindu disemua banjar Sejabodetabek dan Bandung dibantu oleh pengelingsir umat dari Bali. Penyiapan upakara diarahkan oleh Ida Peranda Gde Putera Tembau dari Griya Aan Klungkung selaku manggala pura.  Serta beberapa pinandita baik dari jabodebabek maupun dari Bali.

Pelaksanaan upacara melibatkan seluruh pandita yang ada di bansejabodetabek, bahkan juga dari Lampung dan beberapa orang dari Bali. Kegiatan ini juga mendapatkan partisipasi aktif dari masyarakat Sunda wiwitan dan masyarakat disekitar wilayah Tamansari Gunung Salak.

Rangkaian yadnya dimulai dari Purnama Karo, 19 Agustus 2005 dan berakhir pada 29 September 2005.   Sedangkan puncak upacaranya, yakni Ngenteg Linggih, pada Purnama Ketiga, Redite Pon, Julungwangi bertepatan dengan hari Minggu tanggal 18 September 2005.

Setelah ngenteg linngih dilanjutkan dengan “Nyejer” selama 11 hari, dengan tujuan  memberikan kesempatan kehadiran umat dari seluruh wilayah nusantara.    

Pelaksanaan Yadnya Pujawali Pura Gunung Salak Setiap Tahunnya

Sama halnya dengan pura lainnya di jabodebabek dan pura umum lainnya, selalu melaksanakan pujawali.

Setelah pelaksanaan yadnya ngenteg linggih, maka pura gunung salak harus melaksanakan rangkaian pujawali setiap tahunnya.   Pujawali I, purnama sasah ke tiga tahun 2006.  Waktu pujawali pertama ini bertepatan dengan hari Kamis/Whraspati pahing Dukut tanggal 7 September 2006.

Penyelenggara pujawali adalah Yayasan Giri Tamansari, dimana bertindak selaku penanggung jawab kegiatan adalah pengurus Yayasan, didukung umat Hindu dari tiga provinsi (Banten, DKI dan Jabar).